Impor Pangan Jadi Ajang Bisnis Elit Penguasa dan  Pengusaha

Alexander Sonny Keraf

Impor Pangan Jadi Ajang Bisnis Elit Penguasa dan  Pengusaha

PALANGKA RAYA – Kedaulatan pangan yang digaungkan pemerintah masih jauh panggang dari api. Budaya impor dari luar negeri masih terus terjadi. Hampir semua produk asing saat ini beredar luas dalam negeri. Tokoh Nasional, Alexander Sonny Keraf, mengkritik keras budaya impor ini.

Sonny menilai impor barang merupakan kepentingan elit penguasa dan  pengusaha yang berburu renteng untuk mendapatkan keuntungan bisnis mereka. Dengan memanfaatkan pasar dalam negeri yang begitu besar, mereka secara instan mengimpor dari luar dan memperoleh keuntungan.

 Saat ini kebutuhan pangan nasional bergantung dari impor.  Mulai dari beras, jagung, bawang, garam, daging dan lainnya. Ketua Yayasan Batang Kayu Garing Palangka Raya ini mengatakan, kondisi miris dihadapi para petani, nelayan dan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Mereka terus dibiarkan dalam ketidakberdayaan.

Padahal sumber daya alam dan sumber daya manusia di Tanah Air melimpah ruah. Jika dikelola secara optimal, maka dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri, yang pada muaranya bisa menyejahterakan rakyat. Ini yang menjadi dasar pemikiran Sonny, sehingga menggelar kegiatan Pelatihan Pengembangan Pangan Lokal dan Agroekowisata di Kota Palangka Raya, Rabu (13/4).

Dalam kegiatan ini,  Yayasan Batang Kayu Garing Palangka Raya menggandeng Universitas Palangka Raya (UPR) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Pelatihan digelar secara daring, diikuti pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Sonny mengatakan, pelatihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya dan kapasitas produksi pelaku UMKM di Kalteng.  Ini merupakan langkah awal untuk memberikan pendampingan kepada pelaku UMKM. Target besarnya kedaulatan pangan, yakni terpenuhinya kebutuhan pangan dalam negeri dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia lokal, serta sumber daya produksi. Artinya petani, nelayan dan pelaku UMKM harus diberdayakan. “Program ini menyasar ke sana,” katanya.

Di Kalteng, lanjut Sonny, saat ini warga lokal dihadapkan pada tiga masalah sumber penghasilan. Pertama tak adalah ladang berpindah, karena larangan membakar. Kedua, tidak boleh melakukan penambangan emas tradisional (PETI), meski ada ruang wilayah pertambangan rakyat (WPR) tidak berjalan. Dan yang ketiga, larangan menebang hutan.

Masyarakat lokal harus keluar dari masalah ini. Karena itu, lanjut Sonny, pihaknya mengajak BRIN dan UPR untuk melatih pengembangan gabus, singkah, dan rempah. “Sinergis yayasan, BRIN dan UPR. Mudahan ada Pemda, Kota dan provinsi yang ikut terlibat,” kata Sonny.

Sonny menegaskan, pihaknya juga sudah menggandeng Bank Rakyat Indonesia (BRI). Setelah produktivitas petani, nelayan dan UMKM meningkat, maka dapat mengakses modal melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) di BRI. Yayasan juga akan memberikan pelatihan kepada petani, nelayan dan UMKM untuk pemanfaatan teknologi digital. Dengan begitu memudahkan untuk mengakses pasar secara online.

Sementara, Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Pemanfaatan Riset dan Inovasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Mego Pinandito mengatakan, kebutuhan pasar dalam negeri sangat besar. Ia mendorong para pelaku UMKM untuk bisa meningkatkan nilai pangan, agar bisa memenuhi kebutuhan dalam nasional. Ia berharap kuliner dari Palangka Raya bisa menembus pasar nasional.

Misalnya produk ikan gabus, suatu saat dapat menghasilkan produk turunan seperti abon atau keripik yang sangat enak dan terkenal. Dalam hal ini BRIN siap membantu UMKM untuk mengakses pasar dalam negeri, membantu memasarkan. “Semoga pangan lokal dari Kalteng bisa menembus pasar nasional, bahkan global,” kata Mego.  ist/PR1

SERTIFIKAT
Smsi

Widget